Liberalisasi Ancam Ketahanan Pangan

"Kaum muda harus ditarik kembali ke sektor pertanian".
ImagesKetahanan pangan global tidak bisa dicapai dengan liberalisasi pasar. Pasar bebas tidak cukup menjamin ketahanan pangan suatu negara, meskipun kemungkinan harga pangan menjadi lebih terjangkau.

Menggenjot produksi dalam negeri dan pelan-pelan mendorong desa-desa pertanian, membangun jejaring usaha kecil menengah untuk memasuki pasar ekspor, menjadi solusi yang lebih masuk akal.



Kesimpulan ini muncul dalam diskusi panel yang digelar di World Export Development Forum (WEDF) di Jakarta, Selasa (16/10) terkait ketahanan pangan. Sejumlah panelis yang hadir dalam diskusi ini di antaranya Wakil Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Valentina Rugwabiza.


Menurutnya, suatu negara harus kuat menumbuhkan sendiri bahan makanan apa yang dimakan penduduknya. Untuk itulah, kebijakan pertanian menjadi persoalan penting dalam memfasilitasi peran perdagangan yang menghubungkan penawaran dan permintaan.


"Risikonya, di sisi lain, hambatan perdagangan impor yang diberlakukan banyak negara memang berdampak harga makanan tidak terjangkau dan bahkan tidak tersedia,” kata dia.


Menurut Rob Skidmore, salah satu staf dari International Trade center (ITC), mengatakan, fakta yang harus diakui semua negara bahwa lebih dari 1 miliar orang di dunia bergantung pada petani kecil untuk makanan sehari-hari mereka. Itulah sebabnya, liberalisasi pasar harus dihindari.


Ketahanan pangan merupakan masalah yang kompleks yang terhubung dengan isu-isu lain, termasuk perubahan iklim, air, dan penggunaan lahan, pertumbuhan penduduk, keamanan energi, migrasi, serta urbanisasi.


Panelis lain, Emma Hippolyte, Menteri Perdagangan, Pengembangan Usaha, Investasi, dan Urusan Konsumen St Lucia, menggambarkan liberalisasi perdagangan telah membuat pangsa pasar sektor pertanian di Kepulauan Karibia menurun dari 5,6 persen dari PDB pada 2000 menjadi hanya 1,4 persen pada 2011.


Emma mengatakan, pertanian berkelanjutan masih merupakan pilihan untuk menuju ketahanan pangan, juga penerapan strategi untuk memodernisasi sektor tersebut dan menarik kaum muda kembali ke sektor pertanian.


"Kemudian harus dihubungkan dengan upaya pembangunan daerah, mendukung proyek-proyek untuk meningkatkan daya saing sektoral, dan memperkuat kerangka kerja institusional," kata dia.


Sementara itu, Harry Hanawi dari Wakil Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kamar Dagang Indonesia Dagang dan Industri Kadin Indonesia menyebut ketahanan pangan dapat dicapai melalui praktik-praktik pertanian yang baik.


Jika Indonesia dapat meningkatkan hasil tanaman dan memperkuat produksinya sendiri maka Indonesia akan mampu mendukung ketahanan pangan negara-negara tetangga, serta mengakomodasi impor jagung dan ternak.


Dihubungi terpisah, Ketua Umum Masyarakat Agrikutural dan Agribisnis Indonesia, Fadel Muhammad mengatakan, Indonesia berpeluang pesar menjadi pemasok produk pangan baik pangan pokok maupun buah-buahan ke pasar negara-negara di belahan bumi selatan.


Ini karena selama ini Indonesia juga sudah memiliki basis produksi bahan pangan beras, jagung, dan aneka produk hortikultura. "Lokasinya Indonesia tepat di garis khatulistiwa, jadi tidak terlalu terpengaruh perubahan iklim. Potensi tanah juga masih banyak,’’ ujar Fadel.


Sebulan sebelumnya, dalam wawancara dengan SH, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Sutarto Alimoeso menyatakan, Indonesia sah melakukan monopoli untuk mengamankan komoditas strategis, termasuk dalam hal ini sektor pangan.


Apalagi WTO telah mengisyaratkan memberikan hak bagi setiap negara, khususnya negara sedang berkembang dan miskin, untuk memakai hak monopoli kepada BUMN yang bergerak di sektor pangan dalam melaksanakan monopoli perdagangan bahan pangan pokok, demi alasan ketahanan pangan.


Pertemuan negara-negara anggota WTO di Doha beberapa waktu lalu memang telah menyepakati bahwa pemerintah suatu negara memiliki hak berdaulat untuk menciptakan kebijakan agar negerinya mencapai ketahanan pangan dalam kewajiban internasional mereka.


Anggota WTO dalam sidang perjanjian tentang Pertanian/Agreement of Agriculture (AoA) dan Negosiasi Doha Development Agenda (DDA) menyebutkan bahwa ketentuan liberalisasi pasar yang disepakati lembaga ini boleh dikecualikan bagi negara yang harus mempertimbangkan masalah ketahanan pangannya.


Optimistis


Perdagangan dan ketahanan pangan menjadi pokok bahasan penting dalam WEDF. Sebelumnya, dalam pembukaan pembukaan WEDF, Senin (15/10), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan optimismenya tentang gerak pertumbuhan ekonomi di negara-negara belahan bumi selatan pascakrisis Eropa. "Sekarang ini penggerak pertumbuhan ekonomi dunia berada di belahan bumi Selatan,’’ ujarnya.


Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan Indonesia berpeluang dalam percepatan perdagangan Selatan-Selatan ini. Ekspor migas dan non-migas ke pasar negara berkembang lainnya seperti Pantai Gading, Libia, Guinea, Mauritius, Republik Makedonia , Laos, Haiti, Etiopia, Nikaragua, dan Liberia telah meningkat secara signifikan dari US$ 90.020.000 pada 2011 menjadi US$ 318,2 juta pada (Januari-Oktober) 2012.


Namun ekonom senior Cyrillus Harinowo dan Yudhi Sadewa menilai optimisme ekspor ini berlebihan. Cyrillus berpendapat, mengandalkan kontribusi ekspor justru akan mengurangi pertumbuhan ekonomi itu sendiri.


“Hal penting yang mesti dilakukan saat ini adalah memperkuat pasar domestik,” ujarnya. Itu karena data menunjukkan belakangan kontribusi pertumbuhan ekonomi lebih banyak berasal dari konsumsi domestik dan investasi.


Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa menuturkan, berdasarkan data 2009, pasar yang masih dapat mengurangi tekanan jatuhnya ekspor adalah ekspor ke India, China, dan Korea Selatan.


"Kalau untuk jangka pendek mungkin akan sulit melihat hasilnya karena perekonomian mereka (negara-negara selatan) juga tertekan pelemahan global," ungkapnya. (CR-27)


Sumber : Sinar Harapan

Visi & Misi

VISI
Terwujudnya kedaulatan, kemandirian, keadilan, dan kesejahteraan petani Aceh

MISI
Memfasilitasi, mengadvokasi, mencerdaskan dan menjembatani aspirasi petani Aceh untuk terwujudnya kedaulatan, kemandirian, keadilan dan kesejahteraan petani.