Images

Analisa Usaha, Berbisnis Kayu Gaharu

Images : Pelita Online
Kayu gaharu semakin digemari baik oleh petani, pengusaha dan investor. Bahkan perusahaan-perusahaan besar mulai menjajaki usaha penanaman kayu gaharu.

Kenapa banyak digemari.??? Gaharu sebagai komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) pada saat ini keberadaannya semakin langka dan sangat dicari. Perburuan gaharu yang intensif karena permintaan pasar yang sangat besar menyebabkan gaharu alam dari hutan belantara Indonesia tidak mudah ditemukan. Sehingga pemerintah menurunkan kuota perdagangan gaharu alam untuk mengerem laju kepunahannya.  

Demikian juga secara internasional terdapat kesepakatan untuk memasukkan beberapa spesies tanaman penghasil gaharu menjadi tanaman yang dilindungi.

Sebelumnya, ekspor gaharu Indonesia tercatat lebih dari 100 ton pada tahun 1985. Pada periode 1990 – 1998, tercatat volume eksspor gaharu mencapai 165 ton dengan nilai US $ 2.000.000. Pada periode 1999 – 2000 volume ekspor meningkat menjadi 456 ton dengan nilai US $ 2.200.000. Sejak akhir tahun 2000 sampai akhir tahun 2002, volume ekspor menurun menjadi sekitar 30 ton dengan nilai US $ 600.000. Penurunan tersebut disebabkan semakin sulitnya gaharu didapatkan. 

Selain itu, pohon yang bisa didapatkan di hutan alam pun semakin sedikit yang diakibatkan penebangan hutan secara liar dan tidak terkendali serta tidak adanya upaya pelestarian setelah pohon tersebut ditebang.

Tegakan gaharu alam ditemukan di hutan seperti di Sumatra, Maluku dan Papua, Kalimantan, dan Sulawesi. Para pemburu gaharu pada dasarnya mengetahui karakteristik tegakan gaharu yang menghasilkan gubal gaharu.  

Akan tetapi masa kajayaan gaharu telah menyebabkan banyak orang yang tidak berkompeten juga memburu gaharu sehingga banyak pohon yang tidak menghasilkan gaharu juga ditebang sehingga keberadaannya semakin berkurang secara drastis.

Salah satu alternatif yang kemudian dikembangkan oleh banyak pihak adalah dengan membudidayakan tanaman gaharu. Seperti halnya yang telah dikembangkan secara besar-besaran di Vietnam demikian pula di Malaysia.

Kami sangat menyarakan, sebelum terjun kedunia bisnis gaharu. Ada baiknya membaca; Cara Menanam Gayu Gaharu. 

Dbs
Learn more »

Petani Diajak Menanam Gaharu

Pohon gaharu yang sudah mulai langka memiliki masa depan yang sangat menguntungkan, karena bernilai ekonomi sangat tinggi dibanding tanaman pohon jabon, sengon, dan mahoni. Pohon gaharu tidak hanya diambil kayunya sebagai bahan olahan atau furnitur, tetapi juga bisa dimanfaatkan daunnya sebagai bahan untuk minuman.


Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Jember Totok Haryanto mengatakan, daun gaharu menurut hasil penelitian mengandung kalsium dan vitamin P (bio flafonim). "Ini sangat bermanfaat untuk obat herbal bagi penyakit kanker dan banyak digunakan di Taiwan dan China," kata Totok, Selasa (1/5/2012) di Jember, Jawa Timur.

Dinas Perkebunan dan Kehutanan Jember telah menjalin kerja sama dngan perusahaan swasta yang bergerak di bidang usaha pengadaan kayu bersedia membeli hasil tanaman pohon dari petani. Tanaman pohon gaharu bisa ditebang setelah mencapai usia tanaman 5 tahun hingga 7 tahun dan sudah berdiameter 12 cm.

Teguh Narsono dari PT Gemilang Gaharu Indonesia (GGI) menjelaskan, pohon gaharu memiliki nilai ekonomi sangat tinggi dan kini mulai langka. Gaharu telah mengalami masa krisis di Kalimantan dan Papua, karena banyak terjadi perambahan hutan. Untuk itu, perlu ada pengembangan areal tanaman ini di Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
PT GGI bermitra dengan petani untuk melakukan penanaman sambil memberi pengetahuan mengenai cara menanam dan merawat tanaman tersebut sampai panen. Sejak awal tanam, pohon gaharu membutuhkan perawatan secara khusus hingga umur satu tahun.

Pada usia satu tahun itu, daun pohon gaharu bisa dipakai untuk bahan minuman dan banyak diminati perusahaan, termasuk PT GGI yang bersedia membeli. Setelah mencapai umur 2 tahun hingga 5 tahun, kayu pohon ini dipakai untuk bahan wewangian dan diekspor ke Timur Tengah.

Sumber: Kompas.com
Learn more »

Liberalisasi Ancam Ketahanan Pangan

"Kaum muda harus ditarik kembali ke sektor pertanian".
ImagesKetahanan pangan global tidak bisa dicapai dengan liberalisasi pasar. Pasar bebas tidak cukup menjamin ketahanan pangan suatu negara, meskipun kemungkinan harga pangan menjadi lebih terjangkau.

Menggenjot produksi dalam negeri dan pelan-pelan mendorong desa-desa pertanian, membangun jejaring usaha kecil menengah untuk memasuki pasar ekspor, menjadi solusi yang lebih masuk akal.



Kesimpulan ini muncul dalam diskusi panel yang digelar di World Export Development Forum (WEDF) di Jakarta, Selasa (16/10) terkait ketahanan pangan. Sejumlah panelis yang hadir dalam diskusi ini di antaranya Wakil Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Valentina Rugwabiza.


Menurutnya, suatu negara harus kuat menumbuhkan sendiri bahan makanan apa yang dimakan penduduknya. Untuk itulah, kebijakan pertanian menjadi persoalan penting dalam memfasilitasi peran perdagangan yang menghubungkan penawaran dan permintaan.


"Risikonya, di sisi lain, hambatan perdagangan impor yang diberlakukan banyak negara memang berdampak harga makanan tidak terjangkau dan bahkan tidak tersedia,” kata dia.


Menurut Rob Skidmore, salah satu staf dari International Trade center (ITC), mengatakan, fakta yang harus diakui semua negara bahwa lebih dari 1 miliar orang di dunia bergantung pada petani kecil untuk makanan sehari-hari mereka. Itulah sebabnya, liberalisasi pasar harus dihindari.


Ketahanan pangan merupakan masalah yang kompleks yang terhubung dengan isu-isu lain, termasuk perubahan iklim, air, dan penggunaan lahan, pertumbuhan penduduk, keamanan energi, migrasi, serta urbanisasi.


Panelis lain, Emma Hippolyte, Menteri Perdagangan, Pengembangan Usaha, Investasi, dan Urusan Konsumen St Lucia, menggambarkan liberalisasi perdagangan telah membuat pangsa pasar sektor pertanian di Kepulauan Karibia menurun dari 5,6 persen dari PDB pada 2000 menjadi hanya 1,4 persen pada 2011.


Emma mengatakan, pertanian berkelanjutan masih merupakan pilihan untuk menuju ketahanan pangan, juga penerapan strategi untuk memodernisasi sektor tersebut dan menarik kaum muda kembali ke sektor pertanian.


"Kemudian harus dihubungkan dengan upaya pembangunan daerah, mendukung proyek-proyek untuk meningkatkan daya saing sektoral, dan memperkuat kerangka kerja institusional," kata dia.


Sementara itu, Harry Hanawi dari Wakil Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kamar Dagang Indonesia Dagang dan Industri Kadin Indonesia menyebut ketahanan pangan dapat dicapai melalui praktik-praktik pertanian yang baik.


Jika Indonesia dapat meningkatkan hasil tanaman dan memperkuat produksinya sendiri maka Indonesia akan mampu mendukung ketahanan pangan negara-negara tetangga, serta mengakomodasi impor jagung dan ternak.


Dihubungi terpisah, Ketua Umum Masyarakat Agrikutural dan Agribisnis Indonesia, Fadel Muhammad mengatakan, Indonesia berpeluang pesar menjadi pemasok produk pangan baik pangan pokok maupun buah-buahan ke pasar negara-negara di belahan bumi selatan.


Ini karena selama ini Indonesia juga sudah memiliki basis produksi bahan pangan beras, jagung, dan aneka produk hortikultura. "Lokasinya Indonesia tepat di garis khatulistiwa, jadi tidak terlalu terpengaruh perubahan iklim. Potensi tanah juga masih banyak,’’ ujar Fadel.


Sebulan sebelumnya, dalam wawancara dengan SH, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Sutarto Alimoeso menyatakan, Indonesia sah melakukan monopoli untuk mengamankan komoditas strategis, termasuk dalam hal ini sektor pangan.


Apalagi WTO telah mengisyaratkan memberikan hak bagi setiap negara, khususnya negara sedang berkembang dan miskin, untuk memakai hak monopoli kepada BUMN yang bergerak di sektor pangan dalam melaksanakan monopoli perdagangan bahan pangan pokok, demi alasan ketahanan pangan.


Pertemuan negara-negara anggota WTO di Doha beberapa waktu lalu memang telah menyepakati bahwa pemerintah suatu negara memiliki hak berdaulat untuk menciptakan kebijakan agar negerinya mencapai ketahanan pangan dalam kewajiban internasional mereka.


Anggota WTO dalam sidang perjanjian tentang Pertanian/Agreement of Agriculture (AoA) dan Negosiasi Doha Development Agenda (DDA) menyebutkan bahwa ketentuan liberalisasi pasar yang disepakati lembaga ini boleh dikecualikan bagi negara yang harus mempertimbangkan masalah ketahanan pangannya.


Optimistis


Perdagangan dan ketahanan pangan menjadi pokok bahasan penting dalam WEDF. Sebelumnya, dalam pembukaan pembukaan WEDF, Senin (15/10), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan optimismenya tentang gerak pertumbuhan ekonomi di negara-negara belahan bumi selatan pascakrisis Eropa. "Sekarang ini penggerak pertumbuhan ekonomi dunia berada di belahan bumi Selatan,’’ ujarnya.


Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan Indonesia berpeluang dalam percepatan perdagangan Selatan-Selatan ini. Ekspor migas dan non-migas ke pasar negara berkembang lainnya seperti Pantai Gading, Libia, Guinea, Mauritius, Republik Makedonia , Laos, Haiti, Etiopia, Nikaragua, dan Liberia telah meningkat secara signifikan dari US$ 90.020.000 pada 2011 menjadi US$ 318,2 juta pada (Januari-Oktober) 2012.


Namun ekonom senior Cyrillus Harinowo dan Yudhi Sadewa menilai optimisme ekspor ini berlebihan. Cyrillus berpendapat, mengandalkan kontribusi ekspor justru akan mengurangi pertumbuhan ekonomi itu sendiri.


“Hal penting yang mesti dilakukan saat ini adalah memperkuat pasar domestik,” ujarnya. Itu karena data menunjukkan belakangan kontribusi pertumbuhan ekonomi lebih banyak berasal dari konsumsi domestik dan investasi.


Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa menuturkan, berdasarkan data 2009, pasar yang masih dapat mengurangi tekanan jatuhnya ekspor adalah ekspor ke India, China, dan Korea Selatan.


"Kalau untuk jangka pendek mungkin akan sulit melihat hasilnya karena perekonomian mereka (negara-negara selatan) juga tertekan pelemahan global," ungkapnya. (CR-27)


Sumber : Sinar Harapan
Learn more »

Belajar Tanam Yam dari Nigeria

Oleh: F Rahardi
Images ANTARA

Sejak zaman Orde Lama sampai sekarang, wacana kemandirian (ketahanan) pangan melalui diversifikasi selalu didengungkan pemerintah. Faktanya, Indonesia makin rawan pangan karena hanya bergantung pada beras, bahkan gandum.


Memang ada juga diversifikasi pangan dari singkong dalam bentuk bakso dan pempek hingga produksi nasional komoditas ini naik. Sejak 2011, Indonesia berada pada peringkat kedua penghasil singkong dunia, di bawah Nigeria yang berada pada peringkat pertama. Indonesia berhasil menggeser Thailand, yang turun ke peringkat ketiga.


Namun, di lain pihak, Indonesia juga tumbuh jadi konsumen gandum (terigu) dalam bentuk mi dan roti. Tahun 2012, impor gandum Indonesia dalam berbagai bentuk mencapai 6,2 juta ton dengan nilai Rp 21 triliun. Indonesia dicatat oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) sebagai negara pengimpor gandum terbesar nomor lima di dunia.


Di Indonesia, diversifikasi bahan pangan karbohidrat dari beras bukan mengarah ke jagung, sorgum, umbi-umbian, atau sagu dan sukun, melainkan ke gandum yang harus terus diimpor. Beda dengan Nigeria. Negeri ini juga mengimpor gandum, sebanyak 3,9 juta ton, dengan nilai Rp 9,9 triliun. Akan tetapi, mereka tetap memperhatikan bahan pangan lokal. Iklim Nigeria relatif kering dibandingkan Kamerun, Gabon, Kongo, Republik Demokratik Kongo, dan Uganda. Bagian utara negeri ini sudah berbatasan dengan Gurun Sahara. Dengan kondisi iklim seperti ini, Nigeria tidak mungkin menanam padi dengan hasil optimum.


Maka, Nigeria pun menanam jagung. Tahun 2013, hasil jagung negeri ini diprediksi oleh Kementerian Pertanian Amerika Serikat hanya 7,2 juta ton, dan berada pada peringkat ke-13 dunia. Nigeria berada satu level di bawah Indonesia, yang tahun ini diprediksi menghasilkan 7,7 juta ton jagung, dan berada pada peringkat ke-12 dunia. Selain jagung, produk serealia yang masih bisa dibudidayakan di Nigeria hanyalah sorgum. FAO mencatat tahun 2011 Nigeria menghasilkan 6,8 juta ton biji sorgum, dan berada pada peringkat kedua penghasil sorgum dunia setelah India sebagai peringkat pertama dengan hasil tujuh juta ton.


Tanaman semusim


Meski demikian, volume hasil jagung dan sorgum Nigeria masih relatif kecil untuk mengenyangkan 170 juta penduduknya. Maka, pemerintah negeri ini berpaling ke umbi-umbian: singkong, uwi (yam, Dioscorea alata) ubi jalar, keladi, dan pisang olahan (plantain, Musa x paradisiaca). Di dunia internasional, selain keladi, juga ada talas, sénthé (giant taro, Alocasia macrorrhizos), dan pulaka (swamp taro, Cyrtosperma merkusii).


Uwi, talas, dan pisang olahan merupakan bahan pangan penting dunia. Indonesia punya sangat banyak spesies dan varietas uwi, yang kondisinya telantar. Spesies Dioscorea yang dikenal dan dibudidayakan masyarakat Indonesia secara terbatas hanya gembili (Dioscorea aculeata) dan gadung (Dioscorea hispida). Sénthé dan pulaka memang hanya dikonsumsi masyarakat Pasifik Selatan (Samoa, Vanuatu, Tuvalu). Pisang olahan (pisang tanduk, dan pisang kepok) juga bahan pangan penting yang disebut plantain. Komoditas ini sangat populer di Afrika dan Amerika Tengah/Selatan.


Uganda merupakan penghasil plantain nomor satu dunia. Tanaman penghasil karbohidrat ini diperhatikan luar biasa di Afrika, termasuk di Nigeria. Pemerintah Nigeria demikian serius memperhatikan komoditas-komoditas ini demi mengupayakan ketercukupan pangan bagi penduduknya. Upaya ini berhasil baik, hingga Nigeria dicatat oleh FAO sebagai penghasil singkong terbesar dunia. Tahun 2011, hasil singkong negeri ini 52,4 juta ton. Indonesia berada pada ranking kedua dengan hasil hanya 24 juta ton. Nigeria juga produsen uwi dan keladi nomor satu dunia, dengan hasil 37,1 dan 3,2 juta ton, serta ubi jalar nomor tiga dunia, dan plantain nomor lima dunia dengan volume masing-masing 2,7 juta ton.


Di negeri kita uwi, talas, dan keladi telah dilupakan. Dibandingkan talas dan keladi, nasib uwi paling menyedihkan. Terutama uwi sejenis gembili, berukuran besar, yang di Jawa Tengah dan DIY disebut gembolo. Di Jepang, umbi jenis ini disebut nagaimo (mountain yam, Dioscorea oposita), dan dimasak menjadi bubur, sup, serta kuah udon. Nagaimo dibudidayakan dengan serius di Jepang, dan umbi segar maupun gapleknya bisa dengan mudah dijumpai di pasar Tokyo, bahkan di New York. Taiwan juga membudidayakan uwi secara massal, mengolahkan jadi cake dan menyajikannya sebagai dessert di restoran bintang lima.


Selain sumber pangan tanaman semusim, Indonesia juga masih punya komoditas suweg (Amorphophallus paeoniifolius), iles-iles (Amorphophallus muelleri), ganyong (Canna indica), dan garut (Maranta arundinacea). Empat tanaman ini sama sekali tak terperhatikan dengan baik. Suweg justru dikembangkan dengan serius di India. Umbi konjak (Amorphophallus konjac), yang masih sagu genus dengan iles-iles dibudidayakan secara massal di Jepang, RRC, dan Korea untuk bahan konyaku. Di Jateng dan Jatim, masyarakat sudah mulai membudidayakan iles-iles untuk diekspor ke Jepang sebagai substitusi umbi konjak.


Sampai sekarang, masyarakat di sekitar Jakarta masih ada yang membudidayakan kimpul plècèt atau tales dempel (satoimo, Colocasia esculenta var. antiquorum). Sekitar 2.000 SM, kimpul plècèt ini bermigrasi dari Asia Tenggara ke Jepang dan di sana disebut satoimo. Setelah 4.000 tahun beradaptasi dengan iklim temperate, tahun 2005 ada pengusaha mendatangkan satoimo ke Indonesia untuk dibudidayakan sebagai "komoditas ekspor". Para pengusaha ini tidak tahu bahwa satoimo berasal dari Indonesia. Dengan sistem plasma, para petani diminta menanam "talas jepang", dengan iming-iming akan diberi harga tinggi. Talas yang sudah akrab dengan salju ini tentu tidak mau lagi hidup di iklim tropis. Proyek satoimo ini gagal.


Selain aneka komoditas tanaman semusim tadi, Indonesia masih punya tiga andalan tanaman pangan berupa pohon, yakni aren, sagu, dan sukun. Aren menghasilkan tepung dari empelur batang, gula merah, kolang- kaling, dan ijuk. Aren juga nyaris punah di Jawa karena penebangan untuk diambil tepungnya. Kalau aren nyaris punah, sagu justru belum pernah dieksplorasi, apalagi dibudidayakan. Di Jawa, sagu yang juga dikenal sebagai rumbia lebih banyak dipanen daunnya sebagai bahan atap.


Secara umum dikenal dua jenis sagu, yakni rumbia yang tak berduri dan sagu berduri. Selama ini sagu hanya dikenal sebagai bahan pangan penduduk Sulawesi, Maluku, dan Papua.


Sukun juga merupakan bahan pangan penting bagi masyarakat Pasifik, yang di Indonesia juga masih sebatas dimanfaatkan sebagai camilan. Padahal, buah inilah yang pernah menyelamatkan awak kapal Ferdinand Magellan ketika mereka kehabisan pangan di Pasifik, selama pelayaran mengelilingi dunia: 1519–1522.


Biji bayam RRC


Yang cukup rendah hati mau belajar dari negara lain tampaknya RRC. Tersebutlah, tahun 1970-an, Meksiko tertarik pada cerita tentang biji bayam, yang pernah dibudidayakan orang Maya dan Aztec sebelum kedatangan bangsa Eropa. Oleh orang Aztec, tepung (pati) biji bayam dicampur madu, dibentuk menjadi patung dewa Huitzilopochtli. Dalam sebuah ritual, patung ini dipotong dan dibagi-bagi untuk dimakan. Ritual ini dianggap oleh para imam Katolik mirip dengan pembagian hosti (komuni) dalam ritual misa. Sejak itu penanaman bayam dilarang sama sekali.


Meksiko pun menemukan sisa-sisa komoditas ini di pelosok Pegunungan Andes di Peru. Sejak itu, bayam kembali dibudidayakan sebagai bahan pangan. RRC sangat tertarik pada komoditas ini, lalu pada 1980-an, dengan bantuan USAID, negeri ini mengumpulkan spesies bayam dan varietasnya dari seluruh dunia. Terkumpullah sekitar 1.400 varietas bayam. Dari 1.400 plasma nutfah itu, RRC menemukan beberapa spesies liar yang bisa digunakan untuk menciptakan hibrida baru, hingga produktivitas bayam bisa lebih tinggi. RRC lalu mengirimkan varietas-varietas bayam itu untuk diuji coba di 70 negara di dunia.


RRC melakukan itu semua karena pernah menderita kelaparan. Dengan populasi penduduk terbesar di dunia (1,3 miliar), RRC paling rentan masalah pangan. Maka, mereka pun membuat semua nomor satu. Saat ini RRC penghasil gandum, beras, kentang, dan ubi jalar nomor satu di dunia. Selain itu, RRC juga penghasil jagung nomor dua setelah AS, dan talas nomor dua setelah Nigeria. Ini semua mereka lakukan agar tak pernah terjadi "bencana nasional". Sebab, begitu RRC gagal panen, seluruh cadangan pangan dunia tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan RRC. Itulah sebabnya, meskipun semua sudah nomor satu, RRC masih juga gencar mengurus biji bayam.


Dengan melihat fakta-fakta ini, mestinya Indonesia segera "bertobat", lalu mulai membudidayakan semua tanaman penghasil pangan. Untuk itu, kita layak belajar dari Nigeria yang berhasil hidup tanpa beras. Memang bisa saja kita berdalih bahwa Nigeria bisa menghasilkan singkong, uwi, dan keladi nomor satu di dunia justru karena tidak bisa menanam padi. Mencari-cari kambing hitam untuk mengelak dari pekerjaan memang sudah sejak lama menjadi keahlian para petinggi di negeri ini.


F Rahardi

Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Trubus

(Kompas cetak, 29 Juli 2013) 
Learn more »

Visi & Misi

VISI
Terwujudnya kedaulatan, kemandirian, keadilan, dan kesejahteraan petani Aceh

MISI
Memfasilitasi, mengadvokasi, mencerdaskan dan menjembatani aspirasi petani Aceh untuk terwujudnya kedaulatan, kemandirian, keadilan dan kesejahteraan petani.